Perubahan iklim merupakan isu global yang nyata dan harus menjadi perhatian baik bagi pemerintah maupun masyarakat Indonesia. Indonesia telah melakukan ratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, di antaranya dengan komitmen tindakan progresif mencapai tujuan global dalam membatasi kenaikan rata-rata suhu global di bawah 2°C dari tingkat pre-industrialisasi dan terus berupaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga di bawah 1,5°C. Komitmen tersebut dinyatakan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang memuat komitmen target penurunan emisi GRK sebesar 29% (CM1) dan sampai dengan 41% (CM2) dibandingkan business as usual pada 2030. Perubahan iklim saat ini menjadi isu penting dalam pembangunan yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Perubahan temperatur rerata harian, pola curah hujan, tinggi muka laut, dan variabilitas iklim (misalnya El Nino dan La Nina) menjadi beberapa contoh dampak perubahan iklim yang tentu saja memengaruhi semua aspek kehidupan. Perubahan iklim memberikan dampak yang berbeda bagi tiap kelompok masyarakat. Kondisi inilah yang kemudian mendorong pentingnya kebijakan perubahan iklim yang responsif gender untuk merespons kebutuhan dan memastikan semua kelompok gender berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari pembangunan yang adil dan setara. Untuk mengantisipasi dampak negatif perubahan iklim terhadap kelompok rentan, perlu dilakukan pengintegrasian perspektif gender dalam penyusunan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan pelaksanaannya di semua sektor pembangunan. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk melaksanakan strategi pengarusutamaan gender dalam pembangunan, yang termaktub dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024 maupun RENSTRA (Rencana Srategis) 2020- 2024. Strategi pengarusutamaan gender merupakan sebuah kerangka kerja atau alat analisis untuk mewujudkan keadilan dalam penerimaan manfaat pembangunan
visibility View File